Monday, April 12, 2010

Pasar Tradisional vs Pasar Modern

Berbeda dengan pasar modern, pasar tradisional sejatinya memiliki keunggulan bersaing alamiah yang tidak dimiliki secara langsung oleh pasar modern. Lokasi yang strategis, area penjualan yang luas, keragaman barang yang lengkap, harga yang rendah, sistem tawar menawar yang menunjukkan keakraban antara penjual dan pembeli merupakan keunggulan yang dimiliki oleh pasar tradisional.

Namun, selain menyandang keunggulan alamiah, pasar tradisional memiliki berbagai kelemahan yang telah menjadi karakter dasar yang sangat sulit diubah. Faktor desain dan tampilan pasar, atmosfir, tata ruang, tata letak, keragaman dan kualitas barang, promosi penjualan, jam operasional pasar yang terbatas, serta optimalisasi pemanfaatan ruang jual merupakan kelemahan terbesar pasar tradisional dalam menghadapi persaingan dengan pasar modern.

Ketika konsumen menuntut ’nilai lebih’ atas setiap uang yang dibelanjakannya, maka kondisi pasar pasar tradisional yang kumuh, kotor, bau, dengan atmosfir seadanya dalam jam operasional yang relatif terbatas tidak mampu mengakomodasi hal ini. Kondisi ini menjadi salah satu alasan konsumen untuk beralih dari pasar tradisional ke pasar modern. Artinya, dengan nilai uang yang relatif sama, pasar modern memberikan kenyamanan, keamanan, dan keleluasaan berbelanja yang tidak dapat diberikan pasar tradisional.

Kondisi ini diperburuk dengan citra pasar tradisional yang dihancurkan oleh segelintir oknum pelaku dan pedagang di pasar. Maraknya informasi produk barang yang menggunakan zat kimia berbahaya serta relatif mudah diperoleh di pasar tradisional, praktek penjualan daging oplosan, serta kecurangan-kecurangan lain dalam aktifitas penjualan dan perdagangan telah meruntuhkan kepercayaan konsumen terhadap pasar tradisional.

Belum lagi kenyataan, Indonesia adalah negara dengan mayoritas konsumen berasal dari kalangan menengah ke bawah. Kondisi ini menjadikan konsumen Indonesia tergolong ke dalam konsumen yang sangat sensitif terhadap harga. Ketika faktor harga rendah yang sebelumnya menjadi keunggulan pasar tradisional mampu diruntuhkan oleh pasar modern, secara relatif tidak ada alasan konsumen dari kalangan menengah ke bawah untuk tidak turut berbelanja ke pasar modern dan meninggalkan pasar tradisional.

Ancaman Pasar Modern Terhadap Pasar Tradisional

Eksistensi pasar modern di Indonesia mengalami perkembangan yang sangat pesat. Menurut data yang diperoleh dari Euromonitor (2004) hypermarket meru-pakan peritel dengan tingkat pertumbuhan paling tinggi (25%), koperasi (14.2%), minimarket / convenience stores (12.5%), independent grocers (8.5%), dan su-permarket (3.5%).

Selain mengalami pertumbuhan dari sisi jumlah dan angka penjualan, peritel modern mengalami pertumbuhan pangsa pasar sebesar 2.4% pertahun terhadap pasar tradisional. Berdasarkan survey AC Nielsen (2006) menunjukkan bahwa pangsa pasar dari pasar modern meningkat sebesar 11.8% selama lima tahun terakhir. tiga tahun terakhir. Jika pangsa pasar dari pasar modern pada tahun 2001 adalah 24.8% maka pangsa pasar tersebut menjadi 32.4% tahun 2005. Hal ini berarti bahwa dalam periode 2001 – 2006, sebanyak 11.8% konsumen ritel Indonesia telah meninggalkan pasar tradisional dan beralih ke pasar modern.

Keberadaan pasar modern di Indonesia akan berkembang dari tahun ke tahun. Perkembangan yang pesat ini bisa jadi akan terus menekan keberadaan pasar tradisional pada titik terendah dalam 20 tahun mendatang. Pasar modern yang notabene dimiliki oleh peritel asing dan konglomerat lokal akan menggantikan peran pasar tradisional yang mayoritas dimiliki oleh masyarakat kecil dan sebelumnya menguasai bisnis ritel di Indonesia.

Untuk mengantisipasi hal tersebut perlu adanya langkah nyata dari pedagang pasar agar dapat mempertahankan pelanggan dan keberadaan usahanya. Para pedagang di pasar tradisional harus mengembangkan strategi dan membangun rencana yang mampu memenuhi kebutuhan dan tuntutan konsumen sebagaimana yang dilakukan pasar modern. Jika tidak, maka mayoritas pasar tradisional di Indonesia beserta penghuninya hanya akan menjadi sejarah yang tersimpan dalam album kenangan industri ritel di Indonesia dalam waktu yang relatif singkat. (*)Pertarungan sengit antara pedagang tradisional dengan peritel raksasa merupakan fenomena umum era globalisasi. Jika Pemerintah tak hati-hati, dengan membina keduanya supaya sinergis, Perpres Pasar Modern justru akan membuat semua pedagang tradisional mati secara sistematis.
Hanya tinggal menunggu waktu pasar tradisional akan mati oleh pasar modernSetelah tertunda 2,5 tahun, Peraturan Presiden (Perpres) No 112 Tahun 2007 tentang Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan, serta Toko Modern (biasa disebut Perpres Pasar Modern), akhirnya ditandatangani oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 27 Desember 2007 lalu.

Enam pokok masalah diatur dalam Perpres yaitu definisi, zonasi, kemitraan, perizinan, syarat perdagangan (trading term), kelembagaan pengawas, dan sanksi. Soal zonasi atau tata letak pasar tradisional dan pasar modern (hypermart), menurut Perpres, disusun oleh Pemerintah Daerah (Pemda). Ini membuat pemerintah pusat terkesan ingin “cuci tangan”, mengingat tata letak justru merupakan persoalan krusial sebab tak pernah konsisten dipatuhi, yang lalu membenturkan keduanya. Pendirian Carrefour di kawasan CBD Ciledug, Kota Tangerang, Banten, misalnya. Awalnya Carrefour Ciledug ditolak keras oleh semua pedagang tradisional di sekelilingnya, tetapi pada akhirnya bisa beroperasi dengan mulus persis menjelang Natal 2007.

Pengalihan kewenangan mengeluarkan Izin Usaha Pasar Modern (IUPM) ke Pemda, memungkinkan pasar tradisional selalu dikorbankan dengan berbagai alasan. Indikasinya, sebagian besar pasar modern tidak memiliki IUPM dari pemerintah pusat. “Untuk masalah zonasi, Pemda diberi waktu tiga tahun untuk menyusun rencana umum tata ruang wilayah (RUTRW) yang mengacu kepada Undang-Undang Tata Ruang,” kata Ardiansyah Parman, Dirjen Perdagangan Dalam Negeri, Depdag.

Akan Mati Semua
Penandatanganan Perpres berlangsung setelah PT Hanjaya Mandala Sampoerna Tbk melepas bisnis ritelnya, dengan menjual seluruh kepemilikan sahamnya di PT Alfa Retailindo Tbk pada 5 Oktober 2006, dan di PT Sumber Alfaria Trijaya 15 Desember 2006. Ribuan outlet Alfamart dan Alfamidi tersebar di kawasan pemukiman warga, belum termasuk Alfa Rabat sekelas supermarket sebanyak 29 buah.

Setelah itu muncul kabar raksasa ritel asal Perancis PT Carrefour Indonesia sepakat untuk membeli 75 persen saham Alfa Ratailindo, dengan menyasar supermarketnya. Nota kesepahaman pembelian saham ditandatangani di Singapura 17 Desember 2007, dilanjutkan negosiasi pembelian saham pada 6 Januari 2008, menjadikan Carrefour berpotensi memonopoli usaha ritel sebab tampil sebagai market leader dan price leader.

Apabila pembelian saham Alfa benar-benar terjadi, maka, langkah perubahan Alfa Rabat menjadi Carrefour akan sama persis mengikuti jejak perubahan Hero menjadi Giant, atau supermarket Matahari menjadi Hypermart.

Masih terlalu dini, memang, untuk menilai ada keterkaitan antara berbagai aksi korporasi perusahaan terbuka di atas dengan keluarnya Perpres Pasar Modern. Tetapi bersamaan dengan Perpres pasar Modern dikeluarkan pula Perpres No 111 tentang Perubahan Atas Perpres No 77 Tahun 2007 mengenai daftar bidang usaha yang tertutup dan terbuka dengan persyaratan di bidang penanaman modal, atau tentang Daftar Negatif Investasi (DNI), yang memberikan penegasan perihal penanaman modal asing di sektor ritel. Sebagai misal, definisi supermarket, minimarket, dan departemen store skala kecil dicantumkan dalam kelompok usaha ritel dengan syarat 100 persen modal dalam negeri. Investor asing ditentukan hanya boleh masuk dalam bisnis supermarket ukuran besar dengan luasan lantai penjualan lebih dari 1.200 meter persegi (m2), dan departemen store besar yang berukuran lebih dari 2.00 m2.

Dari sisi pemerintah, Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu berharap Perpres dapat memberikan dampak positif terhadap perkembangan pasar tradisional, sekaligus menciptakan iklim usaha yang lebih baik untuk bisnis ritel. “Perpres ini intinya mengatur masalah zonasi, bagaimana perlindungan pasar tradisional dan ekspansi. Juga, bagaimana supaya pengaturan lokasi pasar tradisional dan ritel modern akan bisa lebih bagus,” kata Mari.
Ketika memberikan penjelasan kepada wartawan di Kantor Pusat Bulog di Jakarta Jumat (28/12), Mari mengatakan, dengan pemberlakuan Perpres persoalan rebutan pelanggan antara ritel tradisional dan modern bisa diminimalisasi.

Mari percaya, perlindungan pasar tradisional bisa dilakukan karena aturan pembangunan pasar harus mengacu pada tata ruang dan wilayah yang sudah dimiliki Pemda. Termasuk pengucuran kredit usaha rakyat kepada pedagang tradisional. “Dengan keluarnya Perpres ini maka akan memperlancar program pemberdayaan untuk pedagang seperti pengucuran kredit mikro dan sebagainya,” kata Mari. Ia mengingatkan, perbaikan kinerja ritel tradisional perlu ditingkatkan. Salah satunya dengan memperbaiki bangunan pasar tradisional, serta pemberdayaan pedagang kecil dan peritel tradisional melalui berbagai program.

Pemberlakuan aturan baku pendirian pasar tradisional dan pasar modern akan membuat persaingan keduanya semakin sengit di masa-masa mendatang. Data Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia (APPSI) menyebutkan, hypermarket telah menyebabkan gulung tikarnya pasar tradisional dan kios pedagang kecil-menengah. Data yang dikumpulkan APPSI pada tahun 2005, saat hypermarket belum begitu menggejala seperti sekarang, memaparkan, di Jakarta terdapat delapan pasar tradisional dan 400 kios yang tutup setiap tahun karena kalah bersaing dengan hypermarket.

Putri Kuswisnu Wardani, Juru Bicara 9 Aliansi Multi Industri mengatakan, para pedagang di pasar tradisional tidak akan pernah mungkin bisa bersaing dengan peritel besar pemilik hipermarket atau supermarket. Pasar tradisional juga tidak bisa melakukan minus margin untuk menarik konsumen, karena tidak ingin menekan pemasok dan produsen.

“Jadi sudah dapat dipastikan pasar tradisional akan mati semua dan tinggal tunggu waktu saja. Arahnya sudah kelihatan. Yang bisa menolong pasar tradisional dan industri nasional (yang barang-barangnya dijual di hipermarket) dari kehancuran adalah niat dan keberpihakan dari pemerintah,”


Pasar Tradisional di Tengah Kepungan Pasar Modern


Sekitar dua dekade lampau jumlah supermarket atau hypermarket maupun mini market di negeri ini masih bisa dihitung dengan jari. Di Bandung saja seingat saya keberadaan pasar modern waktu itu masih sangat jarang. Kalau pun ada paling satu dua, itupun hanya di pusat kota. Coba Anda bandingkan dengan sekarang. Bagi Anda yang tinggal di perkotaan, tak jauh dari pemukiman kita pasti ada minimarket. Jumlahnya juga mungkin lebih dari satu. Jika akan berbelanja dalam skala besar, sebagian orang kini lebih cenderung mendatangi hypermarket ataupun pusat grosir. Selain tempatnya lebih nyaman, harganya bersaing, jenis barangnya pun sangat beragam.

pasar1.jpg

“Tawar menawar penjual dan pembeli di los ikan pasar tradisional (indrakh)”

Kehadiran pasar modern yang memberikan banyak kenyamanan membuat sebagian orang enggan untuk berbelanja ke pasar tradisional. Berbagai alasan mungkin akan dilontarkan orang jika ditanya:” Mengapa tidak memilih pasar tradisional?.” Dari mulai kondisi pasar yang becek dan bau, malas tawar menawar, faktor keamanan (copet, dsb), resiko pengurangan timbangan pada barang yang dibeli, penuh sesak, dan sejumlah alasan lainnya. Padahal pasar tradisional juga masih memiliki beberapa kelebihan yang tidak dimiliki pasar modern. Diantaranya adalah masih adanya kontak sosial saat tawar menawar antara pedagang dan pembeli. Tidak seperti pasar modern yang memaksa konsumen untuk mematuhi harga yang sudah dipatok.

Bagaimanapun juga pasar tradisional lebih menggambarkan denyut nadi perekonomian rakyat kebanyakan. Di sana, masih banyak orang yang menggantungkan hidupnya, dari mulai para pedagang kecil, kuli panggul, pedagang asongan, hingga tukang becak.

Sudah banyak kios di pasar tradisional yang harus tutup karena sulit bersaing dengan pasar modern. Data dari Asosiasi Pedagang Pasar Tradisional Seluruh Indonesia (APPSI) pada tahun 2005 seperti dikutip websitehypermarket tidak terjadi di Indonesia. Kementerian Koperasi dan UKM menyebutkan, bahwa sekitar 400 toko di pasar tradisional harus tutup usaha setiap tahunnya. Jumlah ini kemungkinan akan terus bertambah seiring kehadiran pasar modern yang kian marak. Kondisi semacam ini tentu sungguh memprihatinkan. Semoga saja pengalaman kota Bangkok, Thailand yang awalnya memiliki puluhan pasar tradisional, namun kini hanya tersisa dua pasar karena terdesak oleh kehadiran puluhan

pasar2.jpg

“Salah satu sudut pasar Bambu Kuning, Lampung (indrakh)”

Sebenarnya tidak ada yang salah dengan keberadaaan pasar modern. Sudah menjadi sifat konsumen dimana akan lebih senang memilih tempat yang lebih nyaman, barang lebih lengkap dan harga lebih murah, di mana hal tersebut bisa diakomodasi pasar modern.

***

Kunci solusi sebenarnya ada di tangan pemerintah. Harus ada aturan tata ruang yang tegas yang mengatur penempatan pasar tradisional dan pasar modern. Misalnya tentang berapa jumlah hypermarket yang boleh ada untuk setiap wilayah di satu kota. Lalu berapa jarak yang diperbolehkan dari pasar tradisional jika pengusaha ingin membangun supermarket. Hal tersebut perlu dilakukan untuk mengantisipasi ancaman kebangkrutan pada pasar tradisional akibat kepungan pasar modern yang tidak terkendali, dan memberikan wahana persaingan yang sehat antara keduanya.

Hal lain yang mungkin perlu dilakukan adalah merubah “wajah” pasar tradisional agar bisa lebih nyaman dan teratur. Sayangnya pembenahan pasar rakyat ini tampaknya sering lebih sering mengedepankan kepentingan investor ketimbang kepentingan para pedagangnya sendiri. Harga kios yang tinggi tanpa kompromi kerap membuat pedagang “alergi” mendengar kata pembenahan. Keadaan ini tidak jarang akhirnya menimbulkan perselisihan antara pedagang lama dengan investor yang ditunjuk pemerintah untuk merevitalisasi pasar tradisional.

Semoga saja pasar tradisional masih bisa bertahan di tengah kepungan pasar modern. Apakah di antara Anda masih ada yang menyempatkan berbelanja ke pasar tradisional dalam setiap pekan atau bulannya?


MASA DEPAN PASAR TRADISIONAL

Oleh:
Albert Napitupulu
Direktur Utama PD. Pasar Jaya
Dan Alumnus Program Pascasarjana Universitas Indonesia


Pusat perbelajaan modern berkembang sangat pesat akhir-akhir ini. Khususnya di DKI Jakarta. Di berbagai wilayah terus tumbuh pusat-pusat perbelanjaan baru dengan berbagai bentuknya. Pusat-pusat perbelanjaan ini diisi oleh berbagai retailer (pegecer) yang umumnya adalah pengecer-pengecer besar, baik perusahaan pengecer multinasional maupun nasional.

Menurut riset First Pacific Davies dalam Asia Property Focus Oktober 1996, sampai akhir tahun 1996 ini pasokan total pusat perbelanjaan di Jakarta akan mencapai 1.1 juta meter persegi dan diperkirakan akan terus tumbuh pesat mengingat masih banyak pembangunan pusat perbelanjaan yang belum selesai. Diperkirakan pada tahun 1997 nanti akan bertambah 169.200 meter persegi pusat perbelanjaan baru. Pada tahun 1998 diperkirakan pasokannya akan bertambah lagi sebesar 243.000 meter persegi.

Dampak Pusat Perbelanjaan Modern
Perkembangan pusat perbelanjaan ini secara umum akan menguntungkan bagi konsumen karena semakin tersedia banyak pilihan untuk berbelanja. Persaingan yang semakin tajam antar pusat perbelanjaan dan juga antar pengecer juga akan menguntungkan karena mereka akan berusaha untuk menarik konsumen dengan memberikan pelayanan yang lebih baik. Meskipun demikian saat ini banyak pengusaha yang mengkhawatirkan akan terjadi kelebihan pasok. Kelebihan pasok ini bisa menyebabkan banyaknya kredit macet di pusat-pusat perbelanjaan, sebagaimana yang terjadi sektor properti saat ini.

Perkembangan pesat pusat perbelanjaan modern ini juga akan memberikan dampak pada keberadaan pasar tradisonal. Jakarta saat ini memiliki sekitar 150 pasar tradisional yang menampung sekitar 80.000 pedagang. Pedagang di pasar tradisional ini secara umum adalah pedagang-pedagang kecil bukan pengecer raksasa seperti pusat-pusat perbelanjaan modern.

Pusat perbelanjaan modern merupakan pesaing dan akan mengancam keberadaan pedagang di pasar tradisional.

Jika dahulu pusat perbelanjaan lebih banyak ditujukan untuk penduduk berpendapatan menengah keatas. Kini mereka mulai masuk juga ke kelas menengah kebawah. Para pengecer kini juga bervariasi memasuki berbagai segmen pasar.

Menurut laporan First Pacific Davies, konsumen di Jakarta dan sekitarya dapat dikelompokkan kedalam tiga kelompok menengah ke bawah. Kelompok menengah berjumalh 18 persen dan kelompok menengah kebawah berjumlah sekitar 69 persen.

Kelompok menengah ke atas adalah kelompok tenaga terampil dan tenaga manajemen yang memiliki pendapatan sangat tinggi untuk dibelanjakan. Kelompok merupakan sasaran pusat perbelanjaan seperti Sogo, Metro Galeria, Jc Penney, dan sejumlah speciality store ( toko khusus ) seperti Mark and Spencer, Mal Taman Anggrek dan Citra Land merupakan pusat perbelanjaan yang menggarap segmen pasar ini.

Kelompok menengah merupakan kelompok yang baru tumbuh daya belinya. Kelompok ini umumnya terdiri atas tenaga Manager muda dan teknisi terampil. Kelompok ini sekarang banyak diincar oleh berbagai pusat perbelanjaan. Beberapa mal baru yang mengincar kelompok ini seperti Mal Puri Indah di Jakarta Barat, Mal Mega di Jakarta Utara. Beberapa departement store seperti Mega-M dan Wall - Mart juga mengincar kelompok ini.

Kelompok menengah kebawah kini juga menjadi sasaran pusat perbelanjaan modern, kelompok ini umumnya memiliki pendidikan lebih baik dan lebih terbuka dengan alternatif belanja dibanding generasi tuanya. Kelompok ini lebih suka berbelanja di pasar modern dari pada di pasar tradisional. Kelompok ini juga diduga mempunyai potensi pertumbuhan yang kuat. Departement Store lokal seperti Matahari dan Ramayana merupakan pengecer yang sangat aktif menggarap kelompok ini. Di masa mendatang, generasi muda ini sangat potensial menyebabkan pergeseran kegiatan belanja dari pasar tradisional ke pusat perbelanjaan modern.

Jika semua segmen pasar telah digarap sedemikian gencarnya oleh para pengecer melalui pusat perbelanjaan modern, apa yang tersisa bagi pasar tradisional. Apakah pasar tradisional kini cukup memanfaatkan konsumen dengan pendapatan terendah, atau harus bersaing dengan mereka ? Bagaimana pasar tradisional bisa bersaing dengan pusat perbelanjaan modern?.

Keterbatasan Pasar Tradisional
Ruang bersaing pedagang pasar tradisional kini juga mulai terbatas. Kalau selama ini pasar tradisional dianggap unggul dalam memberikan harga relatif lebih rendah untuk banyak komoditas, dengan fasilitas berbelanja yang jauh lebih baik. Skala ekonomis pengecer modern yang cukup luas dan akses langsung mereka terhadap produsen dapat menurunkan harga pokok penjualan mereka sehingga mereka mampu menawarkan harga yang lebih rendah. Sebaliknya para pedagang pasar tradisional, mereka umumnya mempunyai skala yang kecil dan menghadapi rantai pemasaran yang cukup panjang untuk membeli barang yang akan dijualnya. Keunggulan biaya rendah pedagang tradisional kini mulai terkikis.

Keunggulan pasar tradisional mungkin juga didapat dari lokasi. Masyarakat akan lebih suka berbelanja ke pasar-pasar yang lokasinya lebih dekat. Akan tetapi pusat-pusat perbelanjaan modern terus berkembang memburu lokasi-lokasi potensial. Dengan semakin marak dan tersebarnya lokasi pusat perbelanjaan modern maka keunggulan lokasi juga akan semakin hilang. Kedekatan lokasi kini tidak lagi dapat dijadikan sumber keunggulan yang berkelanjutan.

Jika diamati, pasar yang sampai saat ini bertahan dan banyak dikunjungi adalah pasar-pasar khusus (specialty Market) seperti Pasar Tanah Abang untuk garmen, Pasar Glodok untuk elektronik. Pasar-pasar khusus ini memiliki citra tertentu di mata konsumen dan mampu menawarkan produk yang diinginkan masyarakat dengan harga yang menarik.

Di pasar tradisional lainnya yang sampai saat ini tetap diminati masyarakat adalah produk kebutuhan sehari-hari, terutama bahan mentah. Untuk komoditas ini tampaknya pasar tradisional masih mampu bersaing dengan memberikan harga yang relatif murah dan produk yang segar. Beberapa pengecer yang menawarkan bahan pangan mentah (supermarket) masih memberikan harga yang lebih tinggi, akan tetapi kualitas, pengemasan dan displai (penyajian ) yang jauh lebih baik.

Dengan demikian segmen supermarket untuk bahan pangan ini umumnya adalah kelompok kelas menengah keatas.

Peran Pemerintah
Pemerintah perlu memikirkan kelangsungan hidup pedagang pasar tradisional karena menyangkut hajat hidup banyak keluarga. Pengembangan sektor perekonomian rakyat ini perlu menjadi perhatian pemerintah sesuai dengan sasaran utama pembangunan dalam PJP II yaitu pemerataan. Pemihakan pemerintah ini tidak perlu diwujudkan dengan cara menghambat pertumbuhan pasar modern ini dapat melibatkan pelaku ekonomi golongan ekonomi lemah. Jadi peran pemerintah yang utama dalam hal ini adalah alokasi peran pelaku ekonomi.

Pemihakan pemerintah kepada pedagang pasar tradisional dapat diwujudkan dengan memberikan kesempatan kepada pedagang pasar tradisional untuk turut memetik keuntungan dari peluang pertumbuhan permintaan masarakat serta membantu mengantisipasi perubahan lingkungan yang akan mengancam eksistensi mereka. Karena sifat pedagang pasar tradisional yang umumnya lemah dalam banyak hal,maka peran pemerintahlah untuk secara aktif memberdayakan pedagang tradisional.

Pemberdayaan pedagang kecil ini dapat dilakukan antara lain dengan membantu memperbaiki akses mereka kepada informasi, permodalan, dan hubungan dengan produsen atau supplier (pemasok). Pedagang pasar tradisional perlu mendapatkan informasi tentang masa depan, ancaman dan peluang usahanya, serta perlunya perubahan sikap dan pengelolaan usahanya sesuai dengan perubahan tuntutan konsumen. Dalam kaitannya dengan produsen pemasok, pedagang pasar tradisioanal perlu dibantu dalam mengefisienkan rantai pemasaran untuk mendapatkan barang dagangannya. Pemerintah dapat berperan sebagai mediator untuk menghubungkan pedagang pasar tradisioanal secara kolektif kepada industri untuk mendapatkan akses barang dagangan yang lebih murah.

Modernisasi pasar juga merupakan langkah untuk meningkatkan perekonomian pedagang kecil. Modernisasi pasar disini dimaksudkan sebagai upaya pengelolaan pasar secara modern sesuai dengan tuntutan kebutuhan masyarakat. Modernisasi ini perlu diciptakan untuk menghambat beralihnya tempat belanja masyarakat masih dapat diakomodasikan oleh para pedagang kecil.


No comments:

Post a Comment